Minggu, 29 Mei 2022

Buya Syafii: Saya Tak Menyesal Jadi Orang Indonesia, tapi untuk Siapa Kemerdekaan Ini?

 


"Lalu, untuk siapa sebenarnya kemerdekaan ini?" Demikian disampaikan Buya Syafii dalam tulisannya yang menyoal kerusakan lingkungan di tengah lesatnya laju pertumbuhan penduduk dan pemerintahan yang korup. 

Dalam arsip berita Kompas.com, Oktober 2011, Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Syafii, mencurahkan kekhawatirannya akan laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang begitu pesat.

Diperkirakan, jumlah penduduk tanah air mencapai 400 juta pada tahun 2050, jika persentase pertumbuhan penduduk konsisten di kisaran 1 persen per tahun.

Di tahun tersebut, jumlah penduduk di dunia ditaksir mencapai puluhan miliar. Saat itulah jumlah penduduk Indonesia diprediksi menggeser posisi Amerika Serikat yang kini berada di peringkat ketiga setelah China dan India. 

Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, menurut Buya, laju pertumbuhan penduduk yang tak terkendali akan melahirkan masalah-masalah serius yang sulit diperkirakan akibatnya.

"Dengan jumlah penduduk sekian miliar pada tahun 2050, pertanyaan mencekam yang sering mendera saya adalah: dengan tingkat korupsi dan perusakan hutan seperti yang berlaku sekarang, sementara pemerintah setengah lumpuh menghadapinya, apakah Indonesia tercinta ini masih memberikan kenyamanan untuk dihuni?" demikian tulis Buya Syafii.

Kondisi ini, kata Buya, semakin mengkhawatirkan lantaran cakaran kuku asing mencengkram di dunia perbankan, di pertambangan migas, di tengah sistem perpajakan Indonesia yang sangat kumuh, dan kondisi bea cukai yang semrawut.

Belum lagi, perilaku korup politisi dan pengusaha hitam.

"Apakah wajah bangsa ini pada tahun itu masih ceria atau sudah kusam sama sekali?" ujar Buya.

"Atau kita sudah menjadi budak di rumah kita sendiri? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tak pernah hilang dari ingatan saya, seperti jutaan warga lain yang seperasaan," tuturnya.

Angka kerusakan hutan

Mengutip data Badan Planologi Kementerian Kehutanan tahun 2003, laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektare per tahun. Periode 1997-2000 naik menjadi 3,8 juta hektare per tahun.

Sementara, tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tak berfungsi maksimal mencapai 59,6 juta hektare dari 120,35 juta hektare kawasan hutan di Indonesia.

Greenpeace mencatat, tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektare per tahun.

Adapun data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015-2020 memperlihatkan, angka deforestasi atau kerusakan hutan sudah menunjukkan penurunan drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Tahun 2015, angka kerusakan hutan mencapai 1,09 juta hektare per tahun. Lalu, 2016 angkanya turun menjadi 629,18 hektare per tahun.

Angka tersebut kembali turun di tahun 2017 menjadi 480,01 hektare, lalu 439,44 hektare. Di 2019, luas hutan yang rusak kembali meningkat jadi 462,46 hektare, dan turun lagi di 2020 menjadi 115,46 hektare.

Buya menilai, kerusakan ini disebabkan oleh persekongkolan pengusaha dengan para pejabat.

"Kerusakan dahsyat ini umumnya dilakukan oleh pengusaha-pengusaha hitam yang bersekongkol dengan pejabat setempat. Kerusakan dalam skala lebih kecil juga berasal dari warga demi menyambung napas untuk hidup karena lapangan pekerjaan yang tidak tersedia," kata dia.

Pada akhirnya, manusia dihadapkan realita pahit, mengejar keperluan primer dan menanggung kerusakan lingkungan sebagai akibatnya.

Buntut dari kerusakan lingkungan ini ialah habitat hewan dalam berbagai jenis makin terdesak oleh ulah manusia.

Harimau, beruk, babi, dan binatang jenis lain mengamuk karena manusia telah menggusurnya. Keseimbangan ekosistem hancur berantakan.

Jika kerusakan lingkungan, darat, laut, dan udara, berjalan seperti sekarang, bahkan mungkin semakin ganas, nasib spesies-spesies itu pada tahun-tahun mendatang menjadi tanda tanya besar.

"Masihkah kita bangga sebagai manusia beradab yang mengacu pada sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab? Mohon dijawab pertanyaan ini dengan bahasa hati, tidak dengan bahasa kepentingan," ucap Buya.

Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juta memperlihatkan kerusakan serupa. Di perbukitan Bandar Lampung misalnya, pada tahun itu kerusakan hutan mencapai 80 persen.

Ini disebabkan oleh warga yang berkepentingan menyambug kelangsungan hidup mereka.

Di delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, dari 100.000 hektar hutan bakau, kala itu 50 persen dalam kondisi rusak.

Penyebab utamanya adalah perluasan tambak yang tak terawasi dengan baik, di samping oleh kegiatan pertambangan minyak/gas yang beroperasi di kawasan itu.

Buya mengatakan, sebenarnya tidak ada satu pulau pun yang terbebas dari kerusakan lingkungan. Di Jawa, salah satu kawasan terpadat di muka Bumi, lahan persawahan dan perkebunan sudah kian habis, berubah fungsi menjadi perumahan, perkantoran, pergudangan, dan lain-lain.

Jika distribusi penduduk tak mengalami pemerataan, pada 2050 tidak mustahil Pulau Jawa akan jadi kering kerontang di tengah lautan kemiskinan golongan paria.

Menurut Buya, keadilan untuk warga semakin memburuk dari hari ke hari. Sementara, mereka yang berada di puncak piramida menjadi penikmat kemerdekaan yang hampir tanpa batas.

"Saya tidak menyesal menjadi orang Indonesia. Namun, mengapa jiwa saya tetap saja berontak mengamati perkembangan Tanah Air yang teramat jauh dari cita-cita kemerdekaan," ucap Buya.

"Lalu, untuk siapa sebenarnya kemerdekaan ini?" kata dia.

Semasa hidupnya, Buya Syafii dikenal sebagai tokoh pemikir bangsa. Gagasan-gagasannya banyak dijadikan pertimbangan para pemimpin untuk mengambil keputusan-keputusan besar.

Buya Syafii tutup usia pada Jumat (27/5/2022) dalam usia 86 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi tanah air, sekaligus menyisakan semangat perjuangan membangun bangsa. Selamat jalan,

Sang Bapak Bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar